Yakub F. Ismail : Ketika Undang-Undang Lahir, Tapi Tali Pusatnya Tercekat

Jakarta - Atensinews.co.

Desakan agar Rancangan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) segera dibahas dan disahkan terus menggema dari berbagai arah.

Hal ini terutama agar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru yang telah ditetapkan segera dapat diimplementasikan.

Sayangnya, hingga saat ini kabar tentang pembahasan RKUHAP di lembaga DPR RI masih simpang siur sehingga berpotensi mengalami stagnasi berkepanjangan.
 
Diketahui, Indonesia akhirnya memiliki KUHP baru yang telah disahkan melalui Undang-Undang No. 1 Tahun 2023. 

KUHP ini mulai berlaku efektif tiga tahun setelah diundangkan, yakni pada 2026. Namun, harapan terhadap kelahiran KUHP baru itu tidak akan lengkap tanpa ditopang oleh keberadaan perangkat hukum acara pidana yang selaras dan mendukungnya. 

Di sinilah urgensi pembahasan dan pengesahan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) begitu mendesak.

*Dua Sisi Mata Uang*

Bagai dua sisi mata yang sama, Hukum pidana materiil (KUHP) tanpa ditunjang hukum pidana formil (KUHAP) tidak akan berjalan sempurna.

Di satu sisi KUHP menetapkan apa yang merupakan tindak pidana dan ancamannya, sementara KUHAP mengatur bagaimana sistem peradilan pidana bekerja dalam menegakkan aturan-aturan yang telah ditetapkan, mulai dari penyelidikan, penuntutan, persidangan, hingga eksekusi putusan. 

Tanpa hukum acara pidana yang baru untuk mendukung semangat KUHP baru, pelaksanaan hukum pidana nasional akan menjadi pincang bahkan berpotensi terjadi kekacauan hukum.

Memang, sejauh ini Indonesia masih menggunakan KUHAP lama yaitu UU No. 8 Tahun 1981 meskipun KUHP baru sudah disahkan dua tahun lalu.

Tentu saja kalau dilihat dari spirit yang dibawa jelas sudah cukup jauh tertinggal dengan dinamika dan perkembangan zaman saat ini.

Terlebih, KUHP lama merupakan warisan masa lalu yang kental akan bayang-bayang kolonialisme. Karena itu, dengan hadirnya KUHP baru merupakan sebuah terobosan yang luar biasa dalam kemajuan sistem hukum nasional.

Ia memiliki dua makna sekaligus: pertama, ini menandakan bawa hukum di Indonesia sedang mengalami penyesuaian yang luar biasa terhadap perkembangan masyarakat, dan kedua ia juga bermakna bahwa Indonesia akhirnya berhasil lepas dari warisan hukum yang ditinggalkan Belanda.

Sementara itu, dalam konteks implementasi KUHP baru, kealpaan RKUHAP berdampak pada terciptanya gap struktural dalam konteks penegakan hukum pidana nasional. 

Atas kondisi ini, KUHP baru yang mengatur model pemidanaan dan perumusan sanksi yang lebih aktual, relevan dan responsif, tidak bisa dijalankan karena harus didasarkan pada hukum acara yang relevan.

Padahal, RKUHAP yang tengah dalam persiapan ini memuat sejumlah terobosan penting seperti penguatan hak tersangka dan terdakwa, pengaturan prinsip restorative justice (keadilan restoratif), mekanisme perlindungan terhadap korban, hingga penguatan peran hakim dalam mengontrol proses peradilan. 

Namun, semua itu butuh komitmen dan dukungan yang nyata agar bisa segera ditindaklanjuti sebagai pendamping KUHP yang baru.

*Bahaya Ketidakpastian Hukum*
 
Perlu diketahui bahwa keterlambatan pembahasan dan pengesahan RKUHAP sangat berpotensi terjadinya ketidakpastian hukum bagi aparat penegak hukum dan masyarakat. 

Ini jelas sangat berisiko terhadap tegaknya hukum dan keadilan di tanah air. Dengan belum disahkannya KUHAP baru ini maka potensi ditundanya implementasi KUHP baru pada awal 2026 juga sangat mungkin terjadi.

Padahal, upaya sinkronisasi antara KUHP lama dan baru pada level praksis juga tidak mudah, sehingga memerlukan waktu yang lama.

Sebab, biar bagaimanapun KUHP baru menuntut penyegaran SDM agar wawasan dan kompetensi yang dimiliki, khususnya para aparat penegak hukum sejalan dengan spirit dan nilai-nilai yang dibawa oleh KUHP baru.

Jika dalam pelaksanaannya terjadi penundaan yang cukup lama, maka untuk bisa menimplementasikan peraturan yang baru butuh waktu yang tidak sedikit untuk pelatihan dan pengembangan SDM itu sendiri.

(Red)

0 Komentar