Wali Kota Gunungsitoli Pilih Pergi Ketika Rakyat Datang: Pengkhianatan Terhadap Demokrasi!

 

Foto: Agri Handayan Zebua, pimpinan aksi AMPERA, menyuarakan tuntutan rakyat dalam orasi di depan Kantor Wali Kota Gunungsitoli, Jumat, 21 November 2025. (Dok. AtensiNews)

GUNUNGSITOLI, ATENSINEWS.co - Ketidakhadiran Wali Kota Gunungsitoli saat massa aksi menggeruduk Kantor Wali Kota untuk menyampaikan tuntutan rakyat pada Jumat (21/11/2025) dinilai sebagai bentuk penghindaran politik yang tidak dapat dibenarkan secara moral maupun demokratis. Di tengah gelombang protes publik, sang kepala daerah justru memilih melakukan perjalanan dinas ke luar daerah, meninggalkan rakyat dalam kondisi frustrasi dan tanpa ruang dialog yang layak.

Sikap ini bukan hanya mencerminkan kegagalan komunikasi, tetapi juga menegaskan wajah kekuasaan yang semakin jauh dari denyut persoalan rakyat. Pemerintah yang seharusnya hadir sebagai pelayan publik justru tampil sebagai penguasa yang menutup diri dari kritik dan mengabaikan suara jalanan.

"Ini bukan sekadar kelalaian administratif, ini adalah pelecehan terhadap demokrasi lokal. Ketika rakyat datang membawa suara, lalu pemimpin memilih pergi, maka itu adalah bentuk nyata pembungkaman terselubung terhadap aspirasi publik," tegas Agri Handayan Zebua, aktivis Aliansi Massa Pergerakan Rakyat Nias (AMPERA) dalam diskusi dengan awak media di Kota Gunungsitoli, Minggu (23/11/2025).

Agri menambahkan, tindakan Wali Kota tersebut memperlihatkan krisis keberpihakan yang serius. Menurutnya, absennya pemimpin dalam momentum protes rakyat adalah tanda bahwa pemerintah daerah telah kehilangan sensitivitas sosial serta gagal menjalankan fungsi representatifnya.

"Pemimpin yang takut berhadapan langsung dengan rakyat sedang menunjukkan kepanikan moral dan ketidakmampuan menghadapi realitas. Ini bukan kepemimpinan, ini pelarian dari tanggung jawab," lanjutnya.

Dikatakannya, ketidakhadiran Wali Kota berpotensi mempercepat delegitimasi kekuasaan, memicu kekecewaan kolektif, dan membuka jalan bagi eskalasi perlawanan rakyat yang lebih luas dan terorganisir.

Secara politik, publik menilai keputusan memprioritaskan perjalanan dinas ketimbang menemui demonstran sebagai sinyal jelas bahwa aspirasi rakyat ditempatkan di urutan paling buncit dalam hierarki kekuasaan. Hal ini memperkuat kesan bahwa pemerintah daerah lebih nyaman berdampingan dengan agenda elite daripada berkontak langsung dengan kenyataan sosial di lapangan.

AMPERA menegaskan bahwa rakyat Gunungsitoli tidak sedang mencari sensasi atau konflik, melainkan menuntut kehadiran pemimpin yang berani berdialog, terbuka terhadap kritik, dan tidak bersembunyi di balik protokoler kekuasaan.

“Jika hari ini pemimpin menutup pintu, maka jangan salahkan jika besok rakyat mengetuknya dengan lebih keras. Sejarah selalu mencatat: kekuasaan yang abai akan ditagih oleh rakyat,” pungkas Agri Handayan Zebua.

(Yantonius Hulu)

0 Komentar