Garut – Atensinews.co.
Langit Garut bergemuruh oleh suara lantang kaum buruh! Di bawah panji merah hitam, Aliansi Buruh Gruduk Kabupaten Garut berdiri tegak di garis depan perjuangan, menggugat kebijakan upah murah dan sistem kerja yang dinilai menindas.
Mereka datang bukan untuk mengemis, tetapi untuk menuntut keadilan sosial yang nyata — hak hidup layak bagi para pekerja yang selama ini menjadi tulang punggung ekonomi daerah.
Tak sekadar orasi, Aliansi Gruduk menabrakkan lima tuntutan keras kepada Pemerintah Daerah dan DPRD Garut. Pusat desakan mereka adalah kenaikan Upah Minimum Kabupaten (UMK) Garut berdasarkan Kebutuhan Hidup Layak (KHL) sebagaimana diatur dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 168/PUU-XVII/2019 — bukan sekadar angka kompromi di atas meja rapat.
“Cukup sudah buruh hidup di bawah tekanan upah murah! Kami bukan mesin, kami manusia yang punya keluarga dan harga diri,” tegas Saripudin alias Acil, Ketua Umum Federasi Buruh Kerakyatan (FBK), dengan suara bergetar penuh amarah.
Berdasarkan hasil survei lapangan Aliansi Gruduk, kebutuhan hidup layak buruh di Garut mencapai Rp7 juta per bulan, angka yang mereka sebut sebagai standar minimal bagi pekerja untuk bertahan hidup bersama keluarganya.
Namun kenyataannya, UMK Garut tahun 2025 hanya Rp2.300.000 — jauh dari kata layak.
“Upah murah bukan solusi, tapi bencana sosial! Kalau buruh tak bisa belanja, pasar mati, pedagang sengsara, ekonomi lumpuh,” ucap Acil lantang.
“Buruh itu roda penggerak ekonomi, bukan beban negara!”
Aliansi menegaskan, UMK layak adalah jantung ekonomi daerah. Kesejahteraan buruh berarti kehidupan pasar menggeliat, daya beli meningkat, dan Garut maju bersama rakyatnya.
Tuntutan ini selaras dengan Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 yang menegaskan:
“Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.”
Aliansi Gruduk menuntut DPRD Garut turun tangan menyikapi draft RUU Ketenagakerjaan yang dianggap semakin menjauhkan pekerja dari kepastian hidup.
Mereka juga mendesak agar upah sektor alas kaki dipisahkan dari perusahaan multinasional, karena perbedaan kapasitas dan modal kerja yang timpang.
Tak berhenti di sana, kepastian hukum bagi eks karyawan PT Danbi Internasional juga menjadi sorotan. Banyak dari mereka yang disebut belum mendapatkan hak sesuai undang-undang.
Selain itu, penegakan hak normatif di seluruh perusahaan di Garut harus dijamin dan diawasi langsung oleh Pemkab. Tuntutan ini didasarkan pada Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Pasal 88 ayat (1) yang menyebut:
“Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.”
Salah satu serangan keras dilontarkan kepada Permenaker No. 6 Tahun 2020 tentang Pemagangan Dalam Negeri.
Aliansi Gruduk menyebut sistem itu tak ubahnya topeng eksploitasi, di mana perusahaan bisa mempekerjakan buruh dengan upah rendah tanpa jaminan kerja.
“Magang seharusnya mendidik, bukan memeras tenaga murah. Ini jebakan bagi generasi muda buruh!” ujar Acil menohok.
Mereka menilai kebijakan magang justru membuka peluang lahirnya generasi pekerja tanpa masa depan, sementara perusahaan menekan biaya produksi dengan dalih “pelatihan”.
Hal ini dianggap bertentangan dengan Pasal 28D ayat (2) UUD 1945 yang menegaskan:
“Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.
Di bawah satu bendera, serikat-serikat pekerja seperti SBCSG-FBK, FSP Nikeuba, KSARBUMUSI, SPJM-FSPG, dan berbagai elemen buruh Garut lainnya menyatukan langkah.
Bagi mereka, perjuangan ini bukan sekadar tentang angka UMK, tetapi tentang harga diri, kemandirian, dan martabat kelas pekerja Garut.
“Kami tidak minta belas kasihan, kami menuntut hak hidup di tanah sendiri!”
teriak massa dengan semangat membara.
Dalam manifesto perjuangannya, mereka juga menyerukan:
• Laksanakan reforma agraria dan bangun industrialisasi desa.
• Wujudkan pendidikan gratis, ilmiah, dan berbasis kerakyatan.
• Hapus sistem outsourcing dan kontrak kerja tak pasti.
• Ciptakan lapangan kerja formal dan serap pengangguran.
• Tolak badai PHK dengan alasan apa pun.
“Bersatu dalam gelap, menyalakan terang perlawanan,” ujar Acil menutup orasinya dengan kata-kata yang menggema di antara deru perjuangan.
Kini bola panas sudah di tangan Pemkab Garut dan DPRD. Buruh telah bersuara lantang.
Pertanyaannya: apakah pemerintah akan berpihak pada rakyat pekerja, atau tetap menjadi tameng bagi pengusaha besar?
Mereka berjanji akan terus mengawal tuntutan hingga keadilan sosial benar-benar berdiri tegak di tanah Garut, sebagaimana amanat Pembukaan UUD 1945 alinea keempat:
“Untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”
(Tim)


0 Komentar